Pages

Selasa, 04 Oktober 2011

Tulisan Softskill 1 - Sebuah Negara Yang Tak Tahu Kekuatannya

Sebuah Negara Yang Tak Tahu Kekuatannya

Sudah 66 tahun Republik Indonesia mengklaim dirinya merdeka. Rentang umur yang bisa dibilang masih terlalu muda bagi sebuah Negara, tetapi dapat dikatakan pula terbilang tua bagi seorang manusia. Namun, inti yang difokuskan disini bukan pada lamanya sebuah Negara berdiri, tapi sejauh mana kedewasaan suatu Negara. Pertanyaannya sekarang adalah apakah bangsa Indonesia telah dewasa?. Normalnya tingkat kedewasaan adalah saat dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Ibarat seorang anak yang telah mengetahui moral dimana mencuri itu tidak baik dan menolong orang lain itu adalah perbuatan yang baik. Mungkin pada awalnya anak itu tidak mengerti tentang mencuri tetapi setelah melihat televisi dimana seorang yang telah mencuri itu dipenjara dan menanyakan hal tersebut kepada orangtuanya, barulah ia paham arti mencuri. Hal ini dapat dikatakan bahwa dia telah mempelajari suatu hal dan telah menjadi sebuah pengalaman bagi dirinya sehingga dia dapat mengambil keputusan untuk tidak mencuri. Ya! seseorang yang telah dewasa berarti telah memiliki pengalaman sehingga ia tahu mana yang benar dan mana yang salah sehingga ia dapat mengambil keputusan yang baik bagi dirinya untuk kedepannya.
            Sama halnya dengan sebuah Negara. Negara yang telah dewasa adalah Negara yang mempunyai pengalaman sehingga dia tidak akan jatuh 2x karena dia dapat mengambil keputusan yang baik bagi kelangsungan hidup Negara tersebut. 66 tahun memang terbilang sebuah waktu yang muda tetapi sesungguhnya dalam kurun waktu tersebut sudah selayaknya mengalami kedewasaan. Mengapa demikian? Banyak hal yang dapat mendukung percepatan sebuah Negara mengalami kedewasaan, percepatan ini juga berlaku bagi Negara berkembang seperti Indonesia. Percepatan yang dimaksud disini adalah semakin berkembang pesatnya teknologi. Semakin berkembangnya teknologi semakin deras pula arus informasi yang masuk ke dalam suatu Negara dari berbagai belahan dunia maupun dari Negara itu sendiri dan juga semakin kompleks pula suatu permasalahan yang muncul serta semakin banyak pula pengalaman-pengalaman yang dapat diserap oleh suatu Negara tersebut. Fenomena ini dapat diibaratkan dengan seorang anak kecil pada era modern 2011 dengan anak kecil pada masa 70an. Anak kecil pada masa 70an cukup sulit dalam menerima pengetahuan. Sulit disini dapat diartikan sebagai ketidakbebasannya arus pengetahuan yang dapat masuk dan diketahui si anak karena ia hanya mendapatkan pengetahuan di sekolah. Berbeda dengan anak kecil pada era modern 2011 yang kapan pun mudah mendapatkan pengetahuan karena media-media yang lebih banyak yaitu dari radio, televisi, dan internet. Hal ini yang membuat anak kecil yang umurnya baru 10 tahun pun sesungguhnya dapat mengalami percepatan kedewasaan.
            Sebuah Negara yang dewasa harus mampu mengendalikan masalah. Memang yang namanya masalah tidak akan pernah habis, namun sebuah Negara yang dewasa seharusnya mampu membuat masalah tidak menjadi terlalu besar dan mengambil keputusan tepat guna menanggulangi masalah yang dihadapi. Menilik dari segi ekonomi, permasalahan yang telah mengakar dan sulit ditebas sampai saat ini adalah kemiskinan. Tidak dapat dipungkiri, dengan luas wilayah 5.176.797 km2 yang membentang dari sabang sampai merauke, sudah sangat bosan gendang telinga kita mendengar tentang rakyat Indonesia yang kelaparan, anak-anak yang menderita gizi buruk, serta saudara-saudara kita yang tinggal di kolong jembatan dan di bantaran kali/sungai. Apa yang salah dari negeri ini?. Sebuah negeri impian yang diibaratkan “Surga” dalam tembang syair lagu Koes Plus yang berjudul kolam susu. Sudah tidak perlu dikumandangkan lagi kalau Indonesia tergolong negeri yang subur karena banyak ditiangi oleh gunung berapi. Sudah tidak perlu dibahas lagi kalau wilayah Indonesia itu luas dengan kekayaan lautnya yang melimpah karena sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Masyarakat Indonesia tahu itu semua. Bahkan Amerika pun pernah mengklaim kalau seandainya saja mereka yang jadi Indonesia, mereka bisa menguasai dunia!. Pertanyaannya sekarang adalah, apa yang benar-benar menjadi senjata Amerika sehingga mereka bisa percaya diri seperti itu? Apa yang benar-benar dimiliki Indonesia yang hanya diketahui Amerika sehingga mereka mengklaim bisa menguasai dunia?
            Kita tahu bahwa sebuah Negara memiliki karakteristik tersendiri yang digali dari dalam diri Negara tersebut. Hal ini bak kekuatan yang dimiliki sebuah Negara agar bisa bersaing dengan Negara lain dari berbagai bidang. Di bidang ekonomi misalnya, banyak Negara-negara dari seluruh belahan dunia mempunyai ciri khas masing-masing yang menjadi tumpuan mereka dalam mengarungi derasnya ekonomi global. Jepang dengan industrinya, Negara-negara timur tengah dengan sumber daya minyaknya yang melimpah, bahkan Brazil dengan sumber daya kopinya. Memang, ekonomi itu tidak luput dari yang namanya sumber daya kecuali Jepang yang memang sedikit sumber daya alam yang dimiliki sehingga mereka lebih memilih berkonsentrasi dengan industri teknologinya. Lalu apakah kita harus mengikuti Jepang dengan membangun industri yang besar? Tentu saja tidak. Ingat! Sebuah Negara memiliki karakteristik tersendiri, uraian seperti ini ibarat melihat seseorang dengan kepribadian yang dimilikinya. Jika dia telah dewasa maka ia pasti sudah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya yang tercermin dalam kepribadian. Jika kepribadian itu diasah maka akan menjadi senjata yang besar dibanding seseorang yang hanya mengikuti kepribadian orang lain. Orang seperti ini akan terombang-ambing didalam kehidupan karena ia tidak mempunyai kekuatan yang sebenarnya. Lalu apa yang menjadi karakteristik Indonesia yang bisa dipergunakan untuk menjadi senjata ekonomi yang difokuskan?. Untuk menjawab pertanyaan ini cukup mudah. Kita tinggal mencari apa yang sangat melimpah yang dimiliki Indonesia. Dalam hal ini ada 2 temuan. Yang pertama adalah sumber daya manusia. Jelas sekali bahwa penduduk Indonesia adalah yang terbanyak ke-4 di dunia. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai gudang peluru dimana Indonesia tidak akan kekurangan tenaga kerja. Coba pikir, banyak Negara-negara yang memakai jasa TKI demi membangun negaranya, contohnya adalah Negara-negara tetangga, terutama Malaysia. Lalu kenapa kita tidak berfikir untuk membangun Negara kita sendiri dengan armada tenaga kerja melimpah yang kita miliki?. Temuan berikutnya adalah luas wilayah beserta gejala alam yang dimiliki Indonesia. Kita pasti langsung berfikir tentang tanah yang subur karena ditiangi oleh gunung berapi atau luas perairan yang menyimpan sejuta kekayaan alamnya. Tentu saja kita tidak harus berfikir seperti itu, karena hal itu tidak akan memfokuskan senjata ekonomi kita.
            Berbicara tentang luas wilayah Indonesia, dari sabang sampai merauke luasnya adalah 5.176.797 km2 dengan luas daratannya adalah 1.919.440 km2 dan luas perairannya adalah 3.257.257 km2 Dari penggambaran tadi pun kita dapat melihat mana luas wilayah yang lebih melimpah. Ya! Luas perairan lah yang lebih melimpah ketimbang daratan. Jadi Indonesia memerlukan kefokusan pada perairannya. Argumen ini seolah diperkuat oleh kata-kata seorang filsuf asal Inggris yaitu Sir Walter Raleigh dan Alfred yang mengatakan bahwa “Barang siapa menguasai lautan akan menguasai perdagangan, menguasai perdagangan berarti menguasai kekayaan dunia sehingga pada akhirnya menguasai dunia”. Mungkin inilah kunci yang dimaksud Amerika sehingga mereka bisa sebegitu percaya diri menguasai dunia jika mereka menjadi Indonesia. Laut memang menyimpan kekayaan yang sangat melimpah yang tidak akan pernah habis. Garam, ikan, dan tambang minyak merupakan contoh dari masih banyak lagi keuntungan-keuntungan dari perairan. Sebagai contoh dengan armada perang laut yang kuat, kita tidak akan lagi mendengar berita yang menerangkan kalau ada kapal-kapal asing yang mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia serta kita akan dengan mudah menjaga batas Negara dengan Negara lain dan tidak akan lagi melihat pulau-pulau Indonesia yang diklaim oleh Negara tetangga. Kita akan dengan mudah dan cepat mengekspor barang-barang atau sumber daya ke luar negeri tanpa takut dihadang perompak dari Somalia yang kejadiannya menimpa Indonesia belum lama ini. Selain itu jika kita berspekulasi sedikit, Negara kita bisa saja menjadi penghasil garam dan ikan terbesar di dunia dan bisa mengekspor hasil-hasil laut tersebut ke banyak Negara yang secara geografis tidak berbatasan langsung dengan laut. Lagipula ikan merupakan sumber protein yang cukup tinggi yang bisa untuk mencerdaskan anak bangsa. Dalam sejarah pun telah terurai tinta emas kejayaan kerajaan Sriwijaya yang berhasil menguasai lautan karena armada perang lautnya yang kuat sehingga dijuluki kerajaan Maritim. Lalu mengapa kita sampai sekarang ibaratnya masih saja bermain di darat yang jelas-jelas tidak memberikan keuntungan yang berarti?
            Negara kita malah memperkuat demokrasinya dengan memfokuskan perhatian pada segala aspek yang berhubungan dengan demokrasi. Hal ini tidaklah salah karena memang demokrasi juga merupakan sisi lain kepribadian yang dimiliki Indonesia. Namun demokrasi bukanlah sesuatu yang harus difokuskan karena terbukti selama ini Indonesia hanya berkutat pada kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pejabat pemerintah dan menyengsarakan rakyatnya. Selama ini tidak ada “fokus” yang benar-benar dilakukan oleh Indonesia. Yang terlihat pada berita dilayar kaca hanyalah politik busuk yang saling menjegal sesama. Keanehan yang terjadi adalah Indonesia yang sudah berumur 66 tahun seolah belum menggapai kedewasaannya dan terus jatuh pada lubang yang sama. Jika Indonesia sudah dewasa maka pastilah Indonesia akan mengambil keputusan yang baik sekarang berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah dialami. Memang merubah fokus ke perairan tidak semudah membalikkan tangan. Belum lagi teknologi canggih yang dibutuhkan agar dapat cepat dan efektif dalam mengeksploitasi sumber daya ikan atau garam yang notabene hanya dimiliki oleh Negara maju terutama Jepang. Tetapi hambatan-hambatan seperti itu seharusnya tidak menghambat Indonesia. Langkah yang diambil bukan membiarkan investor asing yang mengadakan peralatan teknologi dan membuat perjanjian agar negaranya mendapat sebagian dari hasil laut tersebut atau Indonesia yang membeli peralatan bekas yang murah dari Negara maju yang notabene kemampuannya tidak seefektif peralatan baru seperti yang selama ini dilakukan Indonesia. Lalu kenapa kita tidak merancang teknologi sendiri?. Hal ini memang terdengar lucu. Tetapi sesungguhnya melontarkan pertanyaan merupakan sarana untuk memfokuskan apa yang dituju karena pertanyaan merupakan jawaban. Dengan pertanyaan tadi akan muncul berbagai pertanyaan lain sampai bentuk pertanyaan itu mendetail yang pada akhirnya dapat menghasilkan suatu teknologi sendiri. Memang teknologi yang dihasilkan tidak akan langsung sebagus atau seefektif yang dimiliki Negara maju tetapi seiring berjalannya waktu teknologi tersebut akan terus berkembang karena sesuatu itu membutuhkan proses. Memang dalam proses tersebut pasti akan banyak menemui kesulitan tetapi jika kita melirik quote dari Napoleon Bonaparte maka kita pasti akan berfikir dua kali, yaitu “Semua memang tidak ada yang mudah, tetapi semua tidak ada yang mustahil”.

Tulisan Softskill 2 - Sebuah Negara Kelas Abad Ke-21

Sebuah Negara Kelas Abad Ke-21

            66 tahun negara ini merdeka. Berbagai ancaman, teror, dan kudeta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah terjadi untuk menguji kemapanan semangat Satu Nusa dan Satu Bangsa para pribumi. Ujian itu sudah terlewati, dan kami lulus sehingga masih bersatu hingga kini. Jutaan nyawa dibayarkan hanya untuk satu area kehidupan yang berharga, sebuah area bernama tanah air.
            Dahulu Indonesia berjuang untuk menghancurkan dan mengusir bangsa asing yang menjajah, hingga akhirnya berhasil memerdekakan diri. Namun jauh hari setelah bangsa kulit putih meninggalkan bumi nusantara,  imperialisme yang dulu mereka canangkan masih ada disini, di bumi pertiwi. Sebuah bentuk lain daripada imperialisme modern, namun dengan penjajah yang merupakan anak bangsa Indonesia. Bukan Nekolim seperti yang dikatakan Bung Karno. Bukan. Kita bahkan seharusnya bersikap tidak suka mencampuri apa yang terjadi pada rumput tetangga. Negara ini belumlah jauh lebih baik negara lain dengan adanya sampah-sampah yang masih berkeliaran didalamnya. Imperialisme ini jauh lebih buruk dibanding Nekolim yang dikoarkan Bung Karno.
            Mereka yang mengaku-ngaku sebagai anak Indonesia, dengan seenaknya melakukan penghinaan terhadap bangsanya sendiri. Mereka mengucapkan Sumpah Pemuda, tapi hanya sekedar ucapan. Tak lebih. Bagi mereka arti bangsa dan nasionalisme hanyalah sebuah wacana sampah. Sebuah tissue untuk menyeka kotoran mereka setelah selesai berurusan dengannya. Bangsa, negara, tanah air, tak lebih dari sebuah tempat untuk melakukan misi mereka. Sebuah misi yang sama dengan yang dicanangkan bangsa Eropa di sekitar abad ke-13. 3G. Gold, Glory, dan Gospel.
            Gold. Bagi mereka para pengkhianat, harta adalah segalanya. Sama seperti imperialisme kuno, mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Tak perduli harta yang ia dapat dan ia ambil adalah milik negara dan rakyat banyak. Bagi mereka, hidup ini indah jika bisa mendapatkan kekayaan dari hasil mengebiri dan menelanjangi negeri. Mengkorup  uang rakyat tidaklah haram selama tidak ketahuan. Jika Rene Descrates berfilsafat dengan cogito ergo sum-nya (aku berpikir, maka aku ada), maka koruptor melakukan korupsi dengan filsafat mereka sendiri. Aku berkorupsi, maka aku ada.
            Jika anak-anak jalanan memiliki pemikiran bahwa mereka harus bekerja untuk dapat bertahan hidup, maka Sang Pengkhianat memiliki pemikiran bahwa ia harus lebih giat mencari lapak-lapak korupsi untuk mempertebal dompet. Ironis untuk dua perbandingan yang tak sebanding. Terutama di era reformasi, yang dahulu oleh para manusia 'jenius' 98, pernah mereka canangkan sebuah kehidupan yang akan lebih baik dari era seorang jenderal yang lalim. Apa yang lebih baik? Hanya sistem pelacuran terhadap hak dan harga diri bangsa serta masyarakat yang kian hari semakin baik dan mapan!
            Glory. Kejayaan. Para pengkhianat mencari kejayaan untuk dirinya. Sebuah bentuk kejayaan dalam perspektif baru. Berbeda dengan glory pada masa imperialisme kuno. Kejayaan dalam memasung kemerdekaan rakyat Indonesia. Kejayaan dalam membangun sebuah prototype negara sampah. Kejayaan dalam membangun sistem kapitalisme bagi dirinya, dan menciptakan sebuah realisasi negara kelas seperti yang dikatakan seorang Karl Marx.
            Kejayaan, bagi mereka tak lagi dalam keharusan perspektif sebuah kemenangan atas penaklukan suatu wilayah seperti pengertian kejayaan bagi negara-negara Eropa abad pertengahan dahulu. Tak lagi tentang seberapa jauh kau bisa memperbudak bangsa dan negara lain. Mereka memiliki evolusi pemikiran tersendiri tentang kejayaan dalam definisi mereka. Kejayaan bagi mereka adalah sejauh mana kau bisa menaklukan bangsamu sendiri untuk dijadikan sebagai budak alat pemuas nafsumu. Kejayaan adalah sejauh mana kau bisa membodohi bangsamu dan bahkan orang tua kandungmu sendiri dengan apa yang kau lakukan, dengan berlagak semata-mata kau adalah pahlawan, satrio piningit bagi bangsamu, tetapi sebenarnya kau sedang memperkosa mereka. Dan tentu saja membuat mereka semua, yang ada di sekitarmu, menjilati kakimu seperti binatang peliharaan.
            Gospel. Jika dulu misi gospel yang dilancarkan Eropa adalah untuk menyebarkan ajaran agama Nasrani dalam rangka mengimbangi kekuatan Islam pada masa itu, maka semangat Gospel era sekarang adalah tentang suatu ajaran namun bukan agama. Lebih kepada sebuah dogma, dan kebudayaan baru. Dogma dan kebudayaan baru ini tidak lepas dari dua paham/misi yang mendahului. Ya, sebuah ajaran untuk membumikan dan melestarikan apa yang sudah mereka capai dan susun sistemnya. Ini mungkin menjadi tandingan yang nyata bagi para pemuka dan pemeluk agama di Indonesia, bahwasanya mereka tidaklah seharusnya berkelahi sesama penganut ajaran Tuhan. Ada sesuatu yang lebih nyata yang harus dilawan. Sebuah ajaran yang bisa desejajarkan dengan sekte aliran sesat tulen manapun.

Pembudayaan terhadap korupsi dan pengkhianatan terhadap negara serta bangsa.

Tahap yang ketiga inilah yang paling menentukan keberhasilan mereka untuk menciptakan sebuah negara kelas baru abad ke-21. Sebuah negara kelas baru dengan pembagian kelas-kelas baru pula.
            Jika Karl Marx hanya memiliki dua kelas dominan dalam pemikirannya tentang negara kelas, kelas atas (kaum borjuis, rente tanah, pemilik modal) dan kelas bawah (kaum proletar), maka dengan rekayasa dan hasil kerja para pengkhianat bangsa, terciptalah sebuah konsep negara kelas baru abad 21.
            Negara kelas tersebut terdiri dari tiga kelas baru yang dominan dalam konstelasi tatanan strata atau kelas di era dunia baru. Kelas-kelas tersebut antara lain adalah:
            Pertama, kelas penghisap. Mereka adalah orang-orang yang selalu berusaha untuk menjadi yang terdepan dalam menggalakkan misi 3G imperialisme modern. Mereka yang termasuk dalam kelas ini adalah mereka yang biasanya berada dalam tatanan kepemerintahan, tentu saja bukan karena kualitas diri melainkan kualitas dan kuantitas dari uang mereka. Merekalah para penghisap, kreator, dan orang yang paling harus bertanggung jawab terhadap chaos yang akan terjadi dan mencapai klimaks pada negara yang dihisap olehnya. Penghisapan yang mereka lakukan terhadap hak asasi, hak individu, dan harta dari rakyat yang menjadi kaum tertindas, membuat kelas ini mestilah terkena hukuman mati ketika sebuah gerakan Republik melakukan sebuah revolusi. Negara tidak dapat diandalkan untuk membunuh mereka, karena merekalah negaranya.
            Kedua, kelas penjilat. Kelas ini berisikan orang-orang yang paling menjijikan. Berisikan manusia hina yang hanya bergantung pada kelas penghisap. Merekalah para kontraktor, pemenang tender, pemborong, dan tipe-tipe lainnya yang menggantungkan keberlangsungan hidup dari hasil bagi kecurangan yang mereka buat. Sama dengan kelas penghisap, kelas ini patut ditiadakan eksistensinya dengan hukuman mati.
            Ketiga, kelas terakhir dari susunan kasta negara kelas baru. Kelas tertindas. Yang termasuk dalam kelas ini adalah mereka yang menjadi rakyat jelata, mereka yang termasuk dalam kelas bawah dalam pemikiran Marx, proletariat, mereka yang menjadi bahan baku untuk diambil hasil jerih payah dan hak-haknya oleh kelas penghisap.
            Indonesia, sedang dalam tahap pembentukan sebuah negara kelas baru yang menuju sempurna dan kehancuran absolute yang tak terhindarkan. Ketiga kelas tersebut, kini sudah ada dalam kehidupan negara kita. Indonesia memasuki sebuah fase dialektis Marx yang menyatakan bahwa, negara hanyalah alat penguasaan dari kelas-kelas atas yang berkuasa untuk kekeberlangsungan hidup dan kepentingan mereka atas kelas bawah yang dikuasai secara paksa. Pembuktian terlihat pada kebijakan negara yang sebenarnya hanya menguntungkan kelas atas yang berkuasa. Kelas berkuasa memiliki kepentingan agar tidak kehilangan kelas yang dikuasai untuk dapat memberlangsungkan kegiatan mereka dalam penghisapan terhadap harta dan hak kelas tertindas.
            Indonesia adalah prototipe negara kelas baru abad modern. Kehancuran sebuah kedaulatan dan negara adalah keniscayaan ketika tak ada perubahan berarti yang dilakukan. Revolusi menjadi jalan terakhir paling ampuh yang bisa ditempuh. Apa yang terjadi pada tahun 1998 adalah salah satu contoh kegagalan dengan embel-embel bumbu keberhasilan yang palsu. Jika memang berhasil, seharusnya tidak ada orang-orang daur ulang dalam pemerintahan kita sekarang. Orang-orang daur ulang yang tergabung dalam kelass penghisap. Terlebih lagi, seharusnya bukan reformasi tapi REVOLUSI.