Pages

Selasa, 04 Oktober 2011

Tulisan Softskill 2 - Sebuah Negara Kelas Abad Ke-21

Sebuah Negara Kelas Abad Ke-21

            66 tahun negara ini merdeka. Berbagai ancaman, teror, dan kudeta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah terjadi untuk menguji kemapanan semangat Satu Nusa dan Satu Bangsa para pribumi. Ujian itu sudah terlewati, dan kami lulus sehingga masih bersatu hingga kini. Jutaan nyawa dibayarkan hanya untuk satu area kehidupan yang berharga, sebuah area bernama tanah air.
            Dahulu Indonesia berjuang untuk menghancurkan dan mengusir bangsa asing yang menjajah, hingga akhirnya berhasil memerdekakan diri. Namun jauh hari setelah bangsa kulit putih meninggalkan bumi nusantara,  imperialisme yang dulu mereka canangkan masih ada disini, di bumi pertiwi. Sebuah bentuk lain daripada imperialisme modern, namun dengan penjajah yang merupakan anak bangsa Indonesia. Bukan Nekolim seperti yang dikatakan Bung Karno. Bukan. Kita bahkan seharusnya bersikap tidak suka mencampuri apa yang terjadi pada rumput tetangga. Negara ini belumlah jauh lebih baik negara lain dengan adanya sampah-sampah yang masih berkeliaran didalamnya. Imperialisme ini jauh lebih buruk dibanding Nekolim yang dikoarkan Bung Karno.
            Mereka yang mengaku-ngaku sebagai anak Indonesia, dengan seenaknya melakukan penghinaan terhadap bangsanya sendiri. Mereka mengucapkan Sumpah Pemuda, tapi hanya sekedar ucapan. Tak lebih. Bagi mereka arti bangsa dan nasionalisme hanyalah sebuah wacana sampah. Sebuah tissue untuk menyeka kotoran mereka setelah selesai berurusan dengannya. Bangsa, negara, tanah air, tak lebih dari sebuah tempat untuk melakukan misi mereka. Sebuah misi yang sama dengan yang dicanangkan bangsa Eropa di sekitar abad ke-13. 3G. Gold, Glory, dan Gospel.
            Gold. Bagi mereka para pengkhianat, harta adalah segalanya. Sama seperti imperialisme kuno, mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Tak perduli harta yang ia dapat dan ia ambil adalah milik negara dan rakyat banyak. Bagi mereka, hidup ini indah jika bisa mendapatkan kekayaan dari hasil mengebiri dan menelanjangi negeri. Mengkorup  uang rakyat tidaklah haram selama tidak ketahuan. Jika Rene Descrates berfilsafat dengan cogito ergo sum-nya (aku berpikir, maka aku ada), maka koruptor melakukan korupsi dengan filsafat mereka sendiri. Aku berkorupsi, maka aku ada.
            Jika anak-anak jalanan memiliki pemikiran bahwa mereka harus bekerja untuk dapat bertahan hidup, maka Sang Pengkhianat memiliki pemikiran bahwa ia harus lebih giat mencari lapak-lapak korupsi untuk mempertebal dompet. Ironis untuk dua perbandingan yang tak sebanding. Terutama di era reformasi, yang dahulu oleh para manusia 'jenius' 98, pernah mereka canangkan sebuah kehidupan yang akan lebih baik dari era seorang jenderal yang lalim. Apa yang lebih baik? Hanya sistem pelacuran terhadap hak dan harga diri bangsa serta masyarakat yang kian hari semakin baik dan mapan!
            Glory. Kejayaan. Para pengkhianat mencari kejayaan untuk dirinya. Sebuah bentuk kejayaan dalam perspektif baru. Berbeda dengan glory pada masa imperialisme kuno. Kejayaan dalam memasung kemerdekaan rakyat Indonesia. Kejayaan dalam membangun sebuah prototype negara sampah. Kejayaan dalam membangun sistem kapitalisme bagi dirinya, dan menciptakan sebuah realisasi negara kelas seperti yang dikatakan seorang Karl Marx.
            Kejayaan, bagi mereka tak lagi dalam keharusan perspektif sebuah kemenangan atas penaklukan suatu wilayah seperti pengertian kejayaan bagi negara-negara Eropa abad pertengahan dahulu. Tak lagi tentang seberapa jauh kau bisa memperbudak bangsa dan negara lain. Mereka memiliki evolusi pemikiran tersendiri tentang kejayaan dalam definisi mereka. Kejayaan bagi mereka adalah sejauh mana kau bisa menaklukan bangsamu sendiri untuk dijadikan sebagai budak alat pemuas nafsumu. Kejayaan adalah sejauh mana kau bisa membodohi bangsamu dan bahkan orang tua kandungmu sendiri dengan apa yang kau lakukan, dengan berlagak semata-mata kau adalah pahlawan, satrio piningit bagi bangsamu, tetapi sebenarnya kau sedang memperkosa mereka. Dan tentu saja membuat mereka semua, yang ada di sekitarmu, menjilati kakimu seperti binatang peliharaan.
            Gospel. Jika dulu misi gospel yang dilancarkan Eropa adalah untuk menyebarkan ajaran agama Nasrani dalam rangka mengimbangi kekuatan Islam pada masa itu, maka semangat Gospel era sekarang adalah tentang suatu ajaran namun bukan agama. Lebih kepada sebuah dogma, dan kebudayaan baru. Dogma dan kebudayaan baru ini tidak lepas dari dua paham/misi yang mendahului. Ya, sebuah ajaran untuk membumikan dan melestarikan apa yang sudah mereka capai dan susun sistemnya. Ini mungkin menjadi tandingan yang nyata bagi para pemuka dan pemeluk agama di Indonesia, bahwasanya mereka tidaklah seharusnya berkelahi sesama penganut ajaran Tuhan. Ada sesuatu yang lebih nyata yang harus dilawan. Sebuah ajaran yang bisa desejajarkan dengan sekte aliran sesat tulen manapun.

Pembudayaan terhadap korupsi dan pengkhianatan terhadap negara serta bangsa.

Tahap yang ketiga inilah yang paling menentukan keberhasilan mereka untuk menciptakan sebuah negara kelas baru abad ke-21. Sebuah negara kelas baru dengan pembagian kelas-kelas baru pula.
            Jika Karl Marx hanya memiliki dua kelas dominan dalam pemikirannya tentang negara kelas, kelas atas (kaum borjuis, rente tanah, pemilik modal) dan kelas bawah (kaum proletar), maka dengan rekayasa dan hasil kerja para pengkhianat bangsa, terciptalah sebuah konsep negara kelas baru abad 21.
            Negara kelas tersebut terdiri dari tiga kelas baru yang dominan dalam konstelasi tatanan strata atau kelas di era dunia baru. Kelas-kelas tersebut antara lain adalah:
            Pertama, kelas penghisap. Mereka adalah orang-orang yang selalu berusaha untuk menjadi yang terdepan dalam menggalakkan misi 3G imperialisme modern. Mereka yang termasuk dalam kelas ini adalah mereka yang biasanya berada dalam tatanan kepemerintahan, tentu saja bukan karena kualitas diri melainkan kualitas dan kuantitas dari uang mereka. Merekalah para penghisap, kreator, dan orang yang paling harus bertanggung jawab terhadap chaos yang akan terjadi dan mencapai klimaks pada negara yang dihisap olehnya. Penghisapan yang mereka lakukan terhadap hak asasi, hak individu, dan harta dari rakyat yang menjadi kaum tertindas, membuat kelas ini mestilah terkena hukuman mati ketika sebuah gerakan Republik melakukan sebuah revolusi. Negara tidak dapat diandalkan untuk membunuh mereka, karena merekalah negaranya.
            Kedua, kelas penjilat. Kelas ini berisikan orang-orang yang paling menjijikan. Berisikan manusia hina yang hanya bergantung pada kelas penghisap. Merekalah para kontraktor, pemenang tender, pemborong, dan tipe-tipe lainnya yang menggantungkan keberlangsungan hidup dari hasil bagi kecurangan yang mereka buat. Sama dengan kelas penghisap, kelas ini patut ditiadakan eksistensinya dengan hukuman mati.
            Ketiga, kelas terakhir dari susunan kasta negara kelas baru. Kelas tertindas. Yang termasuk dalam kelas ini adalah mereka yang menjadi rakyat jelata, mereka yang termasuk dalam kelas bawah dalam pemikiran Marx, proletariat, mereka yang menjadi bahan baku untuk diambil hasil jerih payah dan hak-haknya oleh kelas penghisap.
            Indonesia, sedang dalam tahap pembentukan sebuah negara kelas baru yang menuju sempurna dan kehancuran absolute yang tak terhindarkan. Ketiga kelas tersebut, kini sudah ada dalam kehidupan negara kita. Indonesia memasuki sebuah fase dialektis Marx yang menyatakan bahwa, negara hanyalah alat penguasaan dari kelas-kelas atas yang berkuasa untuk kekeberlangsungan hidup dan kepentingan mereka atas kelas bawah yang dikuasai secara paksa. Pembuktian terlihat pada kebijakan negara yang sebenarnya hanya menguntungkan kelas atas yang berkuasa. Kelas berkuasa memiliki kepentingan agar tidak kehilangan kelas yang dikuasai untuk dapat memberlangsungkan kegiatan mereka dalam penghisapan terhadap harta dan hak kelas tertindas.
            Indonesia adalah prototipe negara kelas baru abad modern. Kehancuran sebuah kedaulatan dan negara adalah keniscayaan ketika tak ada perubahan berarti yang dilakukan. Revolusi menjadi jalan terakhir paling ampuh yang bisa ditempuh. Apa yang terjadi pada tahun 1998 adalah salah satu contoh kegagalan dengan embel-embel bumbu keberhasilan yang palsu. Jika memang berhasil, seharusnya tidak ada orang-orang daur ulang dalam pemerintahan kita sekarang. Orang-orang daur ulang yang tergabung dalam kelass penghisap. Terlebih lagi, seharusnya bukan reformasi tapi REVOLUSI.

0 komentar:

Posting Komentar